Korea
Selatan (Korsel) telah memilih presiden
wanita yang pertama, Park Geun-hye yang berhaluan konservatif.
Kendati suhu udara sekitar 10 derajat dibawah nol, lebih dari tiga-perempat orang yang berhak memilih datang memberikan suara mereka.
Ditengah pertarungan yang sangat ketat, Park Geun-hye muncul sebagai pemenang dengan 51,6 suara, mengalahkan saingannya yang liberal, Moon Jae-in.
Kedua capres berkampanye tentang ekonomi, berjanji akan mengurangi pengangguran dan menurunkan biaya hidup yang tinggi, dan mengendalikan konglomerat-konglomerat keluarga yang sangat berpengaruh di Korea Selatan.
"Saya akan menjadi presiden yang memenuhi janji-janji kepada rakyat," kata Park.
Namun ia jauh lebih berhati-hati daripada Moon tentang perlunya mengekang pengaruh konglomerat-konglomerat keluarga atau "chaebol" yang mendominasi ekonomi nasional.
Presiden wanita pertama Korea Selatan itu juga berjanji untuk menjalin hubungan lagi dengan Korea Utara, mengusulkan KTT dengan pemimpin baru di Pyongyang, Kim Jong-un.
Ia juga memperingatkan Korea Utara bahwa ia tidak akan mentolerir provokasi lagi dari seberang perbatasan.
Sampai tahap tertentu pilpres hari Rabu itu dipandang sebagai referendum mengenai legacy ayah Park, Park Chung-Hee.
Lebih dari tiga dasawarsa setelah ia diasasinasi, Park Chung-hee masih merupakan salah-satu tokoh yang paling memecah pendapat di Korea Selatan - dikagumi karena mengentaskan negara itu dari kemiskinan tapi dikecam karena penindasannya terhadap pembangkang selama 18 tahun pemerintahan militer. Ia ditembak mati oleh kepala intelijennya di tahun 1979.
Dalam upaya rekonsiliasi, ketika kampanye Park mengakui penindasan semasa rejim ayahnya dan meminta maaf kepada keluarga-keluarga korban.
Bagi Moon, anak pengungsi Korea Utara dan mantan pengacara HAM yang pernah dipenjarakan karena menentang pemerintah Park Chung-Hee, ini merupakah kekalahan yang pahit.
"Saya merasa bersalah karena gagal dalam misi saya untuk membuka suatu era politik baru," katanya. "Dengan rendah hati saya menerima hasil pemilihan."
Park tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak -kenyataan yang membuatnya populer di kalangan pemilih yang sudah muak dengan skandal korupsi seputar keluarga presiden.
Memiliki presiden wanita akan merupakan perubahan besar bagi sebuah negara yang oleh World Economic Forum baru-baru ini ditempatkan di urutan ke 108 dari 135 negara dalam hal persamaan gender - satu ranking dibawah Emirat Persatuan Arab dan diatas Kuwait.
Pelantikan Park sebagai presiden akan diselenggarakan tanggal 25 Februari.
Kendati suhu udara sekitar 10 derajat dibawah nol, lebih dari tiga-perempat orang yang berhak memilih datang memberikan suara mereka.
Ditengah pertarungan yang sangat ketat, Park Geun-hye muncul sebagai pemenang dengan 51,6 suara, mengalahkan saingannya yang liberal, Moon Jae-in.
Kedua capres berkampanye tentang ekonomi, berjanji akan mengurangi pengangguran dan menurunkan biaya hidup yang tinggi, dan mengendalikan konglomerat-konglomerat keluarga yang sangat berpengaruh di Korea Selatan.
"Saya akan menjadi presiden yang memenuhi janji-janji kepada rakyat," kata Park.
Namun ia jauh lebih berhati-hati daripada Moon tentang perlunya mengekang pengaruh konglomerat-konglomerat keluarga atau "chaebol" yang mendominasi ekonomi nasional.
Presiden wanita pertama Korea Selatan itu juga berjanji untuk menjalin hubungan lagi dengan Korea Utara, mengusulkan KTT dengan pemimpin baru di Pyongyang, Kim Jong-un.
Ia juga memperingatkan Korea Utara bahwa ia tidak akan mentolerir provokasi lagi dari seberang perbatasan.
Sampai tahap tertentu pilpres hari Rabu itu dipandang sebagai referendum mengenai legacy ayah Park, Park Chung-Hee.
Lebih dari tiga dasawarsa setelah ia diasasinasi, Park Chung-hee masih merupakan salah-satu tokoh yang paling memecah pendapat di Korea Selatan - dikagumi karena mengentaskan negara itu dari kemiskinan tapi dikecam karena penindasannya terhadap pembangkang selama 18 tahun pemerintahan militer. Ia ditembak mati oleh kepala intelijennya di tahun 1979.
Dalam upaya rekonsiliasi, ketika kampanye Park mengakui penindasan semasa rejim ayahnya dan meminta maaf kepada keluarga-keluarga korban.
Bagi Moon, anak pengungsi Korea Utara dan mantan pengacara HAM yang pernah dipenjarakan karena menentang pemerintah Park Chung-Hee, ini merupakah kekalahan yang pahit.
"Saya merasa bersalah karena gagal dalam misi saya untuk membuka suatu era politik baru," katanya. "Dengan rendah hati saya menerima hasil pemilihan."
Park tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak -kenyataan yang membuatnya populer di kalangan pemilih yang sudah muak dengan skandal korupsi seputar keluarga presiden.
Memiliki presiden wanita akan merupakan perubahan besar bagi sebuah negara yang oleh World Economic Forum baru-baru ini ditempatkan di urutan ke 108 dari 135 negara dalam hal persamaan gender - satu ranking dibawah Emirat Persatuan Arab dan diatas Kuwait.
Pelantikan Park sebagai presiden akan diselenggarakan tanggal 25 Februari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar